Melek ilmu telah sejak dini
dikenalkan dalam dunia Islam. Berbagai lembaga pendidikan lahir untuk memenuhi
kepentingan ini. Salah satunya adalah maktab atau sering pula dikenal sebagai
kuttab. Melalui maktab, sejumlah bidang ilmu diajarkan kepada para siswanya,
misalnya tata bahasa dan Alquran.
Istilah maktab atau kuttab juga
berserak dalam beragam literatur Islam. Hal
ini menunjukkan maktab telah ada sejak abad pertama Islam. Siswa yang belajar
di lembaga ini berasal dari kalangan merdeka dan budak. Sebuah riwayat
menegaskan keberadaan lembaga tersebut.
Riwayat itu
terkait dengan Ummu Sulayman, ibunda ahli hadis Annas bin Malik, yang meninggal
pada 93 Hijriyah, yang pernah meminta pengajar di maktab mengirimkan beberapa
siswa lelaki untuk membantunya membuat wol. Pada masa berikutnya, maktab ini
menyebar ke seluruh dunia Islam.
Keberadaan
maktab menembus hingga Spanyol dan Sisilia. Seorang pelancong Muslim, Ibnu
Hawqal, yang meninggal pada 977 Masehi, mengungkapkan, terdapat sekitar 300
maktab di Palermo. Guru yang mengajar di maktab dihargai dan dianggap sebagai warga
yang terpandang.
Selain itu, ada pula Nuaymi,
penulis buku sejarah lembaga pendidikan di Damaskus, Suriah, berjudul Daris
yang menyingkap pula soal maktab ini. Ia, misalnya, menceritakan maktab yang
didirikan Pangeran Fakhr al-Din ibn Qazal. Maktab tersebut berdiri di atas
tanah wakaf.
Maktab dikenal sebagai sekolah
tingkat dasar sebab banyak anak Muslim yang mengawali pendidikannya di sana.
Mereka mendapatkan pengantar ilmu agama dan umum. Namun, menurut pakar dunia
Arab dan Islam, George A Makdisi, ilmu yang diajarkan lebih tinggi dibandingkan
sekolah dasar yang dikenal sekarang ini.
Para siswa
juga mendapatkan pengajaran dan pelatihan secara ketat. Kemudian, maktab
memiliki siswa dan alumni yang masuk jajaran kalangan intelektual yang bisa
diandalkan. Dalam konteks ini, Muhammad ibnu Walad, seorang sultan di Spanyol,
mengalami pengalaman yang mengagumkan.
Pada suatu
saat, Walad makan malam bersama cucunya yang merupakan siswa maktab. Di sela-sela
acara makan malam itu, ia melontarkan syair secara spontan. Cucunya
yang duduk di hadapannya segera membalas syair itu yang dibuatnya dengan
spontan pula.
Prestasi
lainnya melekat pada diri Muhammad ibn Dawud al-Zhahiri. Dia mulai menulis buku
yang sangat terkenal berjudul Kitab al-Zahra atau Bunga saat ia masih menjadi
siswa maktab dan berusia masih sangat belia, 15 tahun. Ayahnya, Dawud ibnu Ali
al-Zhahiri, telah membaca sebagian besar karya tersebut sebelum ia mengembuskan
napas terakhir.
Keturunan
Khalifah al-Ma’mun yang bernama Ahmad ibnu Ali al-Zawwal menuntaskan
pendidikannya di maktab pada usia 14 tahun. Ahmad melanjutkan pendidikannya
dalam bidang tata bahasa dan berguru pada al-Jawaliq selama sebelas tahun.
Hingga akhirnya, ia ditunjuk sebagai seorang hakim pada 1139 Masehi.
Ahmad
mengungkapkan, selama menimba ilmu, ia telah menelaah banyak kitab, baik yang
ia hafal maupun tidak judul karya tersebut, di bawah bimbingan al-Jawaliq.
Ilmuwan lainnya, al-Bayhaqi, juga merupakan salah satu orang yang mengawali
pendidikannya di maktab.
Ketika
al-Bayhaqi berusia 15 tahun dan duduk di tingkat pertama maktab, ia telah hafal
sebelas buku yang membahas tata bahasa, syair, serta kamus bahasa Arab tentang
hukum, makhluk hidup, dan benda mati. Syair yang ia hafal termasuk syair yang
dibuat penyair terkenal, al-Mutannabi dan Abu Tamam, yang dimuat dalam bunga
rampai al-Hamasah.
Satu tahun
kemudian, saat al-Bayhaqi berusia 16 tahun, buku yang mampu dihafalnya
bertambah. Ia telah hafal empat setengah buku tentang tata bahasa, termasuk
pula yang membahas mantra. Dalam usia 17 tahun, ia menjadi seorang murid dari
ilmuwan ternama al-Maydani, yang pernah mengoreksi tujuh buku dalam kajian
adab.
Pada saat yang sama, al-Bayhaqi
mendalami teologi atau ilmu kalam melalui bimbingan dua pakar. Guru terakhir
yang ia miliki adalah Qutb al-Din al-Thabasi. Ia tinggal bersama gurunya untuk
belajar filsafat hingga gurunya itu meninggal dunia. Pada masa itu, ia telah
berumur 37 tahun.
Tak lama kemudian, al-Bayhaqi
memegang sejumlah jabatan di Naisapur. Pada
1154 Masehi, ia menyebutkan karya-karya yang telah ditulisnya hingga tahun
tersebut. Ia mengungkapkan, ia telah menulis sebanyak 72 buku. Sejumlah buku
itu di antaranya ditulis dalam beberapa jilid.
Beberapa
karya al-Bayhaqi adalah Sejarah al-Bayhaqi yang ia tulis dalam bahasa Persia
dan karya biografi berjudul Lubab al-Ansab atau Keturunan Terpilih. Selain itu,
ada karya lainnya yang merupakan biografi para sastrawan yang berjudul Wisyah
al-Dumya atau Pita Patung.
Tak jarang, maktab
ini berfungsi sebagai sekolah menengah dan perguruan tinggi. Maktab oleh
alumninya dijadikan sebagai tempat untuk melanjutkan pendidikan secara
otodidak, mengabdi kepada seorang guru, atau hidup di tengah masyarakat di
sekitar maktab. Langkah seperti itu ditempuh oleh seorang penyair abad ke-10
bernama Sayduk.
Setelah menyelesaikan studinya di
Basrah, Irak, Sayduk memilih salah satu langkah di atas, yaitu hidup di tengah
masyarakat di sekitar maktab. Ia tinggal
bersama suku-suku Arab pedalaman selama sepuluh tahun. Di sana, ia memperdalam
pengetahuan bahasa Arab klasiknya. ed: ferry
Berlanjut Hingga Turki Usmani
Tradisi maktab memiliki
keberlanjutan. Pada masa Turki Usmani, banyak sekolah dasar didirikan.
Ekmeleddin Ihsanoglu dalam tulisannya, Ottoman Educational and
Scholarly-Scientific Institutions, mengatakan sekolah dasar yang dibangun di
sana merupakan kelanjutan dari konsep sekolah yang dikenal maktab atau kuttab.
Sekolah-sekolah tersebut, juga
terkait dengan istilah dar al-talim, dar al-huffaz, tash maktab atau maktab.
Pada umumnya, sekolah dasar di masa Turki Usmani dibangun oleh negarawan atau
sultan. Lokasinya berada di dalam area kompleks masjid atau dalam bahasa Turki
sering disebut kulliye.
Anak-anak yang telah mencapai
usia lima tahun, akan memulai pendidikannya di sekolah-sekolah ini. Saat itu,
tak ada prosedur penerimaan siswa baru atau pendaftaran seperti sekarang.
Anak-anak dari semua keluarga Muslim berhak untuk mendapatkan pendidikan di
sana.
Pengajarnya adalah orang-orang
yang memiliki pendidikan madrasah atau para imam dan pengurus masjid. Tujuan
pendirian sekolah ini merupakan pendidikan dini dalam menulis dan membaca.
Termasuk, berhitung dan pengajaran dasar-dasar agama Islam serta Alquran.
Selain itu, para siswa di sekolah
itu biasanya mebaca kamus puisi dalam bahasa Arab dan Persia, seperti Subha-i
Sibyan and Tuhfe-i Vehbi. Saat itu, tak ada patokan usia siswa yang bisa
dinyatakan lulus. Namun, ada patokan yang pasti bagi mereka untuk bisa
menyudahi pendidikan di sekolah dasar, yaitu kemampuan membaca Alquran.
Pada masa pemerintahan Sultan
Mahmud II, mulai ada upaya reformasi dalam penyelenggaraan pendidikan dasar
ini. Melalui sebuah peraturan, ia menyatakan, pemerintah mengelola pendidikan
dasar itu. Juga ada penentuan umur kelulusan. Para siswa menjalani pendidikan
di sekolah dasar hingga mencapai pubertas.
Upaya lain dilakukan pada masa
Sultan Abdulmecid pada 1845 Masehi. Ia menginginkan adanya perbaikan dalam
sistem pendidikan di sekolah dasar. Di antaranya, ia mensyaratkan agar
guru-guru yang mengajar memiliki izin untuk memberikan pengajaran.
Tak hanya itu, Sultan Abdulmecid
juga menerapka sistem kelas. Ini artinya para siswa dikelompokkan ke dalam
sejumlah kelas. Untuk mengevaluasi sejauh mana para siswa mampu menangkap pelajaran
yang diberikan para guru, pada masa sang sultan, sekolah memberlakukan tes
evaluasi atau ujian.
Sumber: republika (24/5/2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar